TUNTUNAN FIKIH PRAKTIS 1

TUNTUNAN FIKIH PRAKTIS IBADAH BERDASARKAN FATWA

AYATULLAH UZHMA SAYYID ALI KHAMENE’I

Mukadimah

Dengan Nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang

Risalah Amaliyah Fikih yang kini hadir di hadapan Anda merupakan rangkuman berbagai masalah yang berhubungan dengan bab ibadah yang sangat diperlukan oleh masyarakat Islam. Risalah amaliyah ini disusun berdasarkan fatwa pemimpin Muslimin Ayatullah Uzhma Sayyid Imam Ali Khamene’i Hf. Walaupun masalah-masalah ibadah yang diperlukan oleh kaum Muslim itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang tercantum di dalam buku ini, namun demikian kandungan risalah ini sangat penting dan sudah sangat memadai.

Semoga risalah amaliyah fikih ini besar manfaatnya khususnya bagi para mukalid Ayatullah Uzhma Sayyid Imam Ali Khamene’i Hf. Amin.

BAB 1 – TAKLID

DARAS 1

TAKLID (1)

Pokok-pokok Bahasan:

I. Mukadimah

II. Cara-cara Mengetahui Hukum

III. Pembagian Taklid

IV. Amal Ibadah tanpa Taklid

I. Mukadimah

Setiap mukalaf diwajibkan mempelajari masalah-masalah hukum syar’i yang dilakukannya sehari-hari, seperti masalah salat, puasa, bersuci, sebagian muamalah dan lain sebagainya. Jika ia tidak mempelajari hukum-hukum tersebut sehingga menyebabkan ia meninggalkan hal yang wajib atau melakukan hal yang haram, maka ia berdosa. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 6, Bab Taklid, Masalah 6)

Catatan:

•        Mukalaf adalah setiap orang yang telah memenuhi syarat-syarat taklif.

•        Syarat-syarat taklif:

1.       Balig

2.       Berakal

3.       Mampu melaksanakan taklif. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 1892)

•        Tanda-tanda balig adalah salah satu dari tiga hal berikut ini:

1.       Tumbuhnya bulu di bawah perut

2.       Mimpi (yang menyebabkan keluarnya mani)

3.       Genap berusia 15 tahun Hijriah bagi laki-laki. Genap berusia 9 tahun Hijriah bagi perempuan. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 742, 1887, 1889)

•        Sekadar melakukan hubungan suami istri, jika tidak mengeluarkan mani, tidak dianggap sebagai tanda balig. Tetapi hal itu menyebabkan wajibnya mandi junub. Apabila ketika itu ia tidak mandi junub, maka ia wajib mandi junub ketika telah mencapai usia balig. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 1891)

•        Selama seseorang itu tidak memiliki salah satu dari tanda-tanda balig tersebut, maka secara syar’i ia belum dinamakan balig dan ia pun belum diwajibkan melakukan hukum-hukum syar’i. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 1891)

•        Sekadar perkiraan telah tumbuh bulu di bawah perut atau mimpi keluar mani lebih cepat dari usia balig, maka hal itu belum dianggap cukup untuk menjadikan seseorang telah balig. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 1890)

•        Darah yang keluar dari vagina seorang wanita yang usianya belum mencapai 9 tahun, bukanlah tanda balig. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 1892)

•        Sebagaimana telah dijelaskan bahwa tolok ukur balig itu berdasarkan hitungan tahun Hijriah. Apabila tahun kelahiran seseorang berdasarkan tahun Syamsiah (tahun matahari Persia) atau Masehi, maka ia dapat mengetahuinya dengan cara menghitung selisih antara tahun Hijriah dengan tahun Syamsiah atau Masehi (Setiap tahun Hijriah itu kurang dari 10 hari, 21 jam dan 17 menit dari tahun Syamsiah atau Masehi). (Ajwibah al-Istifta’at, No. 1887, 1888)

II. Cara-cara Mengetahui Hukum

Setiap mukalaf dapat mengetahui hukum-hukum syar’i dengan tiga cara:

1.       Ijtihad

2.       Ihtiyath

3.       Taklid. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 1)

Penjelasan:

1. Ijtihad

Ijtihad ialah menyimpulkan dan mengeluarkan hukum-hukum syar’i dan undang-undang Ilahi dari sumber-sumber yang diakui oleh para fakih dan ulama Islam.

2. Ihtiyath

Ihtiyath adalah melakukan suatu perbuatan sedemikian rupa sehingga seseorang merasa yakin bahwa ia telah melaksanakan tugas syar’i-nya. Misalnya, jika terdapat suatu perbuatan yang diharamkan oleh sebagian mujtahid, sementara sebagian mujtahid lainnya tidak mengharamkannya, maka ia tidak melakukannya. Jika terdapat suatu perbuatan yang diwajibkan oleh sebagian mujtahid, sementara sebagian mujtahid lainnya tidak mewajibkannya, maka ia melakukannya. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 1 dan 3, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 1)

3. Taklid

Taklid ialah mengikuti dan mempraktikkan fatwa-fatwa seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 1 dan 3, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 1)

Catatan:

•        Masalah taklid, di samping dapat ditetapkan berdasarkan dalil lafzhi (tekstual), akal juga dapat menghukumi bahwa seseorang yang jahil dalam hukum-hukum agama harus merujuk kepada seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 1)

•        Seorang mukalaf yang belum mencapai peringkat mujtahid dalam hukum-hukum agama, harus bertaklid atau ber-ihtiyath. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 1)

•        Mengingat bahwa melakukan ihtiyath dalam amal ibadah itu memerlukan pengetahuan atas tata-cara dan tempat-tempatnya dan juga lebih banyak menyita waktu, maka si mukalaf lebih baik bertaklid kepada seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 2)

•        Taklid diwajibkan kepada setiap orang yang telah memenuhi tiga syarat:

1.       Mukalaf (telah balig)

2.       Bukan mujtahid

3.       Bukan muhtath. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 1)

III. Pembagian Taklid

Taklid kepada mujtahid yang telah wafat ada dua bagian:

1.       Ibtida’i, yaitu seorang mukalaf mulai bertaklid kepada seorang mujtahid yang telah wafat, padahal ketika mujtahid itu masih hidup, ia tidak bertaklid kepadanya. Taklid semacam ini, secara ihtiyath wajib tidak dibolehkan.

2.       Baqa’i, yaitu seorang mukalaf tetap meneruskan taklidnya kepada seorang mujtahid yang telah wafat, dan ketika mujtahid tersebut masih hidup dia telah bertaklid kepadanya. Taklid semacam ini diperbolehkan dalam semua masalah fikih, termasuk dalam masalah-masalah yang hingga kini belum sempat dia amalkan. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 22 dan 41, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 4)

Catatan:

•        Dalam taklid baqa’i, tidak ada perbedaan antara mujtahid itu a’lam (lebih pandai) ataupun tidak. Pada kedua kondisi itu dibolehkan. Tetapi sebaiknya jangan meninggalkan ihtiyath untuk tetap bertaklid kepada mujtahid mayit yang a’lam. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 35)

•        Taklid ibtida’i atau tetap bertaklid kepada mujtahid mayit dan batasan-batasannya, harus merujuk kepada mujtahid yang hidup dan secara ihtiyath harus yang a’lam. Tetapi apabila kebolehan bertaklid kepada mujtahid mayit itu disepakati oleh fukaha pada masanya, maka izin dari mujtahid a’lam tidak diperlukan lagi. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 23, 36 dan 40, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 4)

•        Bila seseorang (mukalid) bertaklid kepada seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat itu belum balig, tetapi ia bertaklid kepadanya dengan cara yang benar, maka ia diperbolehkan untuk tetap bertaklid kepadanya setelah marja’-nya itu wafat. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 42)

•        Apabila seseorang bertaklid kepada seorang mujtahid, dan setelah mujtahid itu wafat ia bertaklid kepada mujtahid lainnya di dalam beberapa masalah, kemudian mujtahid yang kedua pun wafat, maka dalam hal ini ia dibolehkan untuk tetap bertaklid kepada mujtahid yang pertama di dalam masalah-masalah yang ia belum berpindah taklid darinya. Sementara di dalam masalah-masalah yang ia sudah berpindah taklid darinya, ia dibolehkan memilih antara tetap mengikuti fatwa-fatwa mujtahid yang kedua atau berpindah kepada mujtahid yang masih hidup. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 37)

IV. Beramal Ibadah tanpa Taklid

Amal ibadah seseorang yang dilakukan tanpa taklid, atau taklidnya tidak benar, dapat dianggap sah apabila:

1.       Sesuai dengan ihtiyath (kehati-hatian)

2.       Sesuai dengan realitas (hukum Tuhan)

3.       Sesuai dengan fatwa mujtahid yang wajib ia taklidi. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 7).[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jadwal Salat Kota Jakarta