Tuntunan Fikih Praktis 2 (Taklid)

Pokok-pokok Bahasan:

I. Syarat-syarat Marja’ Taqlid

II. Tab’idh (Parsial) dalam Taklid

I. Syarat-syarat Marja’ Taqlid

Seseorang dapat menjadi marja’ taqlid dan bisa ditaklid jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1.       Laki-laki

2.       Balig

3.       Berakal sehat

4.       Bermazhab Syi’ah Imamiyah

5.       Bukan anak di luar nikah

6.       Secara ihtiyath wajib, masih hidup

7.       Adil

8.       Mengingat pentingnya kedudukan marja’iyah dalam masalah fatwa, maka secara ihtiyath wajib seorang marja’ harus bersifat zuhud, warak dan tidak rakus terhadap materi duniawi

9.       Mujtahid

10.     Secara ihtiyath wajib, harus a’lam (paling pandai) dari para mujtahid lainnya. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 12, 15, 16, 21 dan 22, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 2)

Penjelasan:

1. Syarat ke-7

1.       Adil adalah kondisi jiwa yang dapat mendorong seseorang untuk senantiasa bertakwa sehingga ia tidak mungkin meninggalkan hal-hal yang diwajibkan dan melakukan hal-hal yang diharamkan. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 562)

2.       Seseorang dikatakan adil apabila menyandang sifat tersebut. Dengan ungkapan lain bahwa ketakwaannya sampai kepada tingkatan yang ia tidak akan melakukan dosa dan maksiat (meninggalkan hal-hal yang wajib atau melakukan hal-hal yang haram) dengan sengaja. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 13, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 2)

3.       Untuk menilai keadilan seseorang, cukup hanya dengan memerhatikan kebaikan lahiriahnya saja. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 562)

2. Syarat ke-9

1.       Ijtihad dari satu sisi terbagi kepada dua bagian:

a.       Ijtihad mutlak: kemampuan ijtihad untuk berfatwa dalam seluruh masalah fikih. Orang yang memiliki kemampuan itu disebut sebagai “mujtahid mutlak”.

b.       Ijtihad mutajazzi: kemampuan ijtihad untuk berfatwa dalam sebagian bab fikih saja seperti salat, puasa dan lainnya. Orang itu disebut sebagai  “mujtahid mutajazzi”. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 10)

2.       Fatwa seorang mujtahid mutlak selain merupakan hujah bagi dirinya, orang lain pun dapat bertaklid kepadanya. Begitu pula dengan fatwa mujtahid mutajazzi. Tetapi secara ihtiyath mustahab hendaknya tidak bertaklid kepada mujtahid mutajazzi. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 10)

3. Syarat ke-10

1.       Yang dimaksud a’lam (lebih pandai) adalah bahwa seseorang itu lebih mampu dalam melakukan ijtihad. Dengan kata lain, dia lebih mampu dalam mengetahui hukum-hukum Ilahi dibandingkan dengan para mujtahid lainnya dan lebih mengetahui dalil-dalilnya dalam berijtihad. Di samping itu pula, ia lebih mengetahui kondisi zamannya yang memengaruhinya dalam menentukan objek-objek hukum. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 16, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 2)

2.       Dalil diwajibkan bertaklid kepada mujtahid yang a’lam adalah berdasarkan tingkah laku ‘uqala’ (orang-orang yang berakal) dan hukum akal. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 20)

3.       Kewajiban bertaklid kepada mujtahid a’lam itu—berdasarkan ihtiyath wajib—adalah dalam masalah-masalah ketika fatwa mujtahid a’lam berbeda dengan fatwa mujtahid yang tidak a’lam. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 16)

4.       Hanya sekadar adanya dugaan kurangnya syarat pada mujtahid a’lam—secara ihtiyah wajib—tidak boleh membuat seseorang bertaklid kepada mujtahid yang bukan a’lam dalam masalah-masalah yang diikhtilafkan. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 17)

Beberapa poin berkenaan dengan syarat-syarat marja’ taqlid

       Keabsahan bertaklid kepada marja’ yang telah memenuhi syarat tidak disyaratkan bahwa marja’ tersebut telah menyatakan marja’iyah atau memiliki risalah amaliyah. Karena itu, apabila seorang mukalaf telah membuktikan terpenuhinya syarat-syarat marja’iyah pada seorang mujtahid, ia boleh bertaklid kepadanya sekalipun marja’ tersebut belum menyatakan marja’iyah atau tidak memiliki risalah amaliyah. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 9)

       Bertaklid kepada seorang marja’ taqlid yang telah memenuhi syarat tidak disyaratkan harus senegara atau satu tempat tinggal dengan si mukalaf. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 11)

       Para ayah dan ibu berkewajiban memberikan petunjuk dan bimbingan kepada anak-anak mereka yang baru saja menginjak usia taklif (balig) ketika mereka sudah harus memilih marja’ taqlid—namun mereka mendapatkan kesulitan dalam memahami masalah-masalah taklid—sehingga dapat menentukan tugas syar’i mereka. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 4)

II. Tab’idh dalam Taklid

1.       Tab’idh dalam bertaklid ialah seseorang membagi-bagi dalam taklidnya, yakni pada sebagian masalah ia bertaklid kepada seorang marja’ dan pada sebagian lainnya bertaklid kepada marja’ yang lainnya.

2.       Mukalid dibolehkan bertaklid dalam sebagian hukum kepada seorang marja’ yang a’lam dalam masalah tersebut. Misalnya dalam bab ibadah, ia bertaklid kepada seorang marja’, sementara dalam bab muamalah ia bertaklid kepada marja’ yang lainnya, atau dalam hukum-hukum individu ia bertaklid kepada seorang marja’ dan dalam hukum-hukum sosial, politik dan ekonomi ia bertaklid kepada marja’ yang lainnya. Bahkan apabila si mukalaf  dapat membuktikan a’lamiyah (kepakaran) setiap marja’ dalam masalah-masalah tertentu yang diwajibkan bertaklid kepadanya, maka secara ihtiyath wajib ia harus melakukan tab’idh dalam bertaklid ketika terdapat perbedaan dalam fatwa. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 18, dan Istifta’ Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 5). []

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jadwal Salat Kota Jakarta