Hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungan di sekitarnya adalah sumber berbagai kebutuhan. Tentu, pengelolaan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut membutuhkan dasar dan hukum-hukum yang bisa membawa manusia kepada maksud dan tujuannya. Kebutuhan-kebutuhan manusia memiliki berbagai aspek seperti kebutuhan fisik, ruh, individu, dan sosial. Keseluruhannya mesti berada dalam kontrol dan pengawasan sekumpulan hukum yang rasional dan akurat.
Pada masyarakat primitif, hukum-hukum tersebut dibuat oleh kepala suku. Dalam masyarakat yang lebih berperadaban hukum-hukum tersebut ditentukan oleh para utusan Tuhan ‘alaihimus salam. Jika para nabi tidak ada, maka para cendikiawanlah yang akan merealisasikan hukum-hukum tersebut dalam berbagai bentuk.
Setiap hukum, baik yang dibuat manusia maupun dari Tuhan, dibuat berdasarkan kemaslahatan dan manfaat. Begitu pula hukum-hukum Ilahi. Seluruh kemaslahatan dan manfaat hukum Ilahi ditujukan kepada para hamba (manusia). Sebagian manfaat ini memiliki sisi duniawi, sedangkan sebagian lainnya bersifat spiritual (ukhrawi). Peran dan urgensi ilmu fikih adalah menyiapkan jalan menuju berbagai kemaslahatan dan menyampaikan umat islam kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, melalui spesifikasi, penyingkapan, dan penjelasan hukum-hukum Tuhan, serta dengan mengatur perbuatan individu dan sosial mereka. Hukum-hukum ini diidentifikasi dan di-istinbath (usaha mengeluarkan hukum islam melalui sumber-sumbernya) oleh seorang ahli fikih.
Tugas seorang faqih (ahli fikih) adalah identifikasi dan istinbath (inferensi atau penyimpulan) hukum syar’i. Ia tidak menjadikan pendapat pribadinya sebagai alat. Tugasnya (hanyalah) menyingkap pandangan dan keinginan Tuhan yang sampai kepada kita melalui pewahyuan kepada Nabi saw. Sebagian besar hukum-hukum tersebut pun telah dijelaskan oleh Ahlulbait as.
Sumber-sumber fikih
Keinginan-keinginan Tuhan tersebut terdapat dalam berbagai sumber yang juga dikenal sebagai sumber-sumber ilmu fikih. Sumber-sumber ini berjumlah empat:
- Al-Qur’an yang merupakan penjelas dasar-dasar dan hukum-hukum umum Tuhan. Al-qur’an juga merupakan sumber fikih yang paling penting.
- Sunnah dan riwayat yang memiliki posisi penting dalam hal ini.
- Ijma’. Maksud dari ijma’ adalah kesepakatan seluruh ahli fikih atas satu hukum.
- Akal. Maksud dari akal adalah kemampuan memahami yang dilakukan akal secara pasti dan aksiomatis.
Terdapat syarat-syarat untuk tiap sumber di atas. Hanya dengan terealisasinya syarat-syarat tersebutlah, sumber-sumber di atas bisa menjadi pegangan hukum fikih.
Dasar-dasar dan Cabang-cabang Agama
Hukum-hukum islam terbagi menjadi dua bagian penting: Hukum-hukum dasar, yang disebut dasar-dasar agama (ushuluddin), dan hukum-hukum cabang, yang dinamakan cabang-cabang agama (furu’uddin).
- Hukum-hukum dasar: kepercayaan-kepercayaan yang mesti diimani seorang muslim. Hukum-hukum ini berhubungan dengan iman dan kepercayaan yang disebut dasar-dasar agama atau aqidah. Kepercayaan-kepercayaan ini mesti didapatkan melaui argumentasi.
- Hukum-hukum cabang: hukum-hukum cabang agama adalah hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan. Sebagian hukum ini berupa ritual-ritual agama dan aktifitas-aktifitas sosial yang mesti dijalankan seorang muslim berdasarkan pandangan ahli fikih.
Hukum-hukum Taklifi
Hukum-hukum ini merupakan peraturan yang meliputi perintah, larangan maupun persetujuan (tarkhish). Hukum-hukum ini disebut hukum-hukum taklifi (ahkam taklifi) dan memiliki lima bagian:
- Wajib: berdasarkan hukum ini, seseorang mesti melakukan perbuatan yang diinginkan Tuhan. Jika ia melanggar, maka ia akan mendapat dosa.
- Istihbab (mustahab): berdasarkan hukum ini, seseorang bisa meninggalkan perbuatan yang diinginkan Tuhan tanpa mendapatkan dosa. Namun jika ia melakukannya, ia akan mendapatkan pahala.
- Haram: berdasarkan hukum ini, seseorang mesti meninggalkan perbuatan yang ditentukan Tuhan. Jika ia melakukannya, ia akan mendapatkan dosa.
- Kirahah (makruh): berdasarkan hukum ini, seseorang bisa melakukan perbuatan yang diinginkan Tuhan tanpa mendapatkan dosa. Namun jika tidak dilakukan, ia akan mendapatkan pahala.
- Ibahah (mubah): berdasarkan hukum ini, seseorang bisa melakukan atau meninggalkan perbuatan yang diinginkan Tuhan, tanpa mendapatkan pahala ataupun dosa.
Marja’ Taklid
Marja’ taqlid (seseorang yang menjadi tempat rujukan hukum fikih) adalah seorang mujtahid, zuhud dan adil yang mengeluarkan hukum-hukum Islam berdasarkan Alquran, sunnah, ijma’, dan akal. Dalam masalah-masalah fikih, sebagian Syiah beramal berdasarkan fatwanya dan memberikan kewajiban-kewajiban harta (wujuhat syar’i) mereka kepada mujtahid tersebut.
Kemarjaan (marja’iyyah) merupakan posisi keagamaan tertinggi dalam Syiah 12 imam. Posisi ini bukanlah penobatan. Biasanya, dengan bertanya kepada para pemuka agama dan ulama, orang-orang Syiah mengidentifikasi orang-orang tertentu yang memiliki kelayakan ini. Syarat terpenting posisi ini adalah kelebihan ilmu (a’lamiyyah) seorang mujtahid dibanding mujtahid-mujtahid yang lain.
Para pengikut marja’ taqlid (dalam permasalahan fikih) disebut muqallid. Pandangan-pandangan para marja’ taqlid (biasanya) tertuang dalam sebuah kitab yang disebut Risalah Taudhih al-Masa’il.
Para marja’ taqlid Syiah biasanya memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat. Terkadang, pandangan mereka di berbagai bidang, seperti sosial, ekonomi, dan budaya, dapat menciptakan pergerakan di tengah pengikut mereka.
Syarat-syarat Marja’ Taqlid
Seorang mujtahid bisa menjadi marja’ taqlid jika ia memenuhi berbagai syarat kemarjaan. Yakni, pandangan-pandangan fikihnya boleh diamalkan orang lain. Sampai ke posisi ini bergantung pada beberapa syarat. Yang terpenting di antaranya adalah:
- Masih hidup
Taqlid permulaan (mengikuti) seorang marja’ yang tidak lagi hidup tidaklah boleh. Artinya, ketika seseorang baru mencapai masa baligh, ia mesti memilih seorang marja’ taqlid yang masih hidup. Namun jika marja’ taqlid orang tersebut meninggal, ia tetap bisa bertaqlid kepadanya selama mendapatkan izin dari seorang marja’ taqlid lain yang masih hidup.
- Baligh
Mencapai masa baligh adalah syarat dasar bagi seorang marja’ taqlid. Bahkan, jika seseorang memiliki seluruh syarat marja’ taqlid lain namun belum mencapai masa baligh, bertaqlid kepadanya tidaklah sah. Masa baligh dalam syiah adalah umur 15 tahun bagi anak laki-laki.
- Berakal
Tidak diragukan bahwa seorang yang gila tidak layak menjadi marja’ taqlid. Tanpa ada keyakinan atas keberadaan kemampuan menentukan baik dan buruk, seseorang tak bisa dipilih sebagai marja’.
- Adil
Salah satu syarat terpenting marja’ taqlid adalah keadilan. Keadilan adalah karakter yang menjauhkan pemiliknya dari dosa. Seseorang disebut adil jika ia melaksanakan seluruh kewajiban agama dan menjauhi seluruh hal-hal yang diharamkan.
- Syiah 12 Imam
Syiah 12 imam yakni seseorang meyakini bahwa imamah (kepemimpinan Ahlulbait pasca Nabi saw) termasuk dasar agama, serta meyakini bahwa imamah, sama seperti kenabian, berasal dari Allah swt. Di setiap zaman mesti ada minimal satu dari 12 imam dan pemimpin Syiah yang hidup.
- Anak Halal
Seseorang yang lahir dari pernikahan yang sah (menurut islam) adalah anak halal. Untuk bisa menjadi marja’, seorang fakih mesti seorang anak halal (bukan anak haram).
- Laki-laki
Berdasarkan ayat dan riwayat Syiah, hanya laki-laki yang bisa menjadi marja’ taqlid bagi yang lain. Bertaqlid kepada perempuan tidak sah.
- Berdasarkan ihtiyath wajib, tidak cinta dunia
Marja’iyyah merupakan posisi dan tanggung jawab yang sangat urgen. Sebelum memilih marja’ taqlid, seseorang mesti yakin bahwa orang yang dipilih tidaklah terobsesi kepada dunia dan hal-hal yang berhubungan dengan materi (materialistis), serta tidak condong pada materi.
- Mujtahid
Mujtahid sendiri merupakan syarat paling mendasar bagi marja’ taqlid. Seseorang disebut mujtahid ketika ia memiliki kemampuan untuk meneliti ayat dan riwayat-riwayat serta mampu merumuskan hukum-hukum Allah (istinbath), setelah ia mempelajari berbagai macam disiplin ilmu.
- Lebih Pandai Dibanding Mujtahid Lain
Lebih pandai (a’lamiyyah) dalam ijtihad bermakna seseorang lebih mengerti dan lebih baik dalam memahami makna spesifik sumber-sumber hukum syiah. Terdapat berbagai cara untuk mengidentifikasi marja’ taqlid yang lebih pandai (a’lam). Cara-cara tersebut mampu membantu seseorang mengidentifikasi orang-orang tertentu yang pantas menjadi marja’.
Buku yang ada di hadapan Anda ini merupakan Muntakhab al-Ahkam (Kumpulan Fatwa-fatwa dalam bidang hukum fikih, politik ,sosial dan budaya) marja’ taqlid Imam Khamenei. Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia untuk saudara-saudari semua agar dapat menjalankan hukum dan berbagai aktivitas keagamaan Anda sekalian. Semoga bermanfaat.
Dr. Abdul Majid Hakim Ilahi
Direktur Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta