Masalah 590) Pada rakaat pertama dan kedua salat-salat wajib harian setelah takbiratulihram, wajib bagi mushalli untuk membaca surah al-Fatihah dan setelah itu berdasarkan ihtiyath wajib, membaca satu surah sempurna dari al-Quran, karenanya tidak cukup hanya membaca satu atau beberapa ayat dari satu surah.
Masalah 591) Pada rakaat ketiga dan keempat, mukalaf boleh memilih untuk membaca surah al-Fatihah saja (tanpa membaca surah) atau membaca tasbih arba’ah yaitu membaca:
سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَ لاَ اِلَهَ إلاَّ اللهُ وَ اللهُ اَکْبَرُ (Mahasuci Allah, Segala puji bagi Allah, tiada tuhan selain Allah dan Allah Mahabesar).
Masalah 592) Surah al-Fil dan surah Quraisy dihukumi sebagai satu surah, dan membaca salah satu dari keduanya setelah al-Fatihah dianggap tidak mencukupi, demikian juga dengan surah al-Dhuha dan al-Insyirah.
Masalah 593) Apabila seseorang hanya membaca surah al-Fil saja atau al-Insyirah saja karena ketidaktahuannya terhadap masalah sedangkan dia tidak menganggap remeh dalam mempelajarinya, maka salat-salat yang telah dia lakukan dihukumi sah.
Masalah 594) Pada salat-salat wajib harian, tidak bermasalah apabila setelah membaca al-Fatihah dan satu surah sempurna seseorang membaca sebagian dari ayat-ayat suci al-Quran dengan niat membaca al-Quran.
Masalah 595) Apabila waktu salat telah sempit atau terdapat kekhawatiran jika membaca surah akan datang pencuri atau binatang liar yang akan melukainya, maka dalam keadaan ini tidak ada kebolehan baginya untuk membaca surah.
Masalah 596) Apabila seseorang membaca surah terlebih dahulu sebelum membaca al-Fatihah karena kesalahan, dan sebelum rukuk dia menyadari hal ini, maka dia harus membaca al-Fatihah dan kembali membaca surah. Jika kekeliruannya itu dia sadari ketika dirinya tengah membaca surah, maka dia harus meninggalkan bacaan surahnya untuk kemudian membaca al-Fatihah serta membaca surah kembali dari awal.
Masalah 597) Apabila seseorang lupa membaca al-Fatihah dan surah atau salah satu darinya dan setelah rukuk baru menyadari hal tersebut, maka salatnya dihukumi benar.
Masalah 598) Apabila sebelum rukuk seseorang menyadari bahwa dia belum membaca al-Fatihah dan surah atau belum membaca surah saja, maka dia wajib membacanya lalu rukuk. Apabila dia menyadari hanya al-Fatihah saja yang belum dia baca, maka dia harus membacanya kemudian mengulang bacaan surah. Demikian juga jika dia menyadari belum membaca al-Fatihah atau surah atau keduanya pada saat telah membungkuk namun belum sampai pada batasan rukuk, maka dia harus berdiri dan melakukan aturan sebagaimana di atas.
Masalah 599) Pada salat-salat wajib harian tidak diperbolehkanuntuk membaca surah-surah sujud. Apabila secara sengaja atau kebetulan dia membaca salah satu dari surah-surah tersebut, maka berdasarkan ihtiyath wajib begitu sampai pada bacaan ayat sujud, dia harus melakukan sujud tilawah, bangkit dari sujud, melanjutkan bacaan surahnya (jika belum selesai) dan menyelesaikan salat, lalu mengulang salat. Namun jika dia menyadarinya sebelum sampai pada ayat sujud, maka berdasarkan ihtiyath wajib dia harus meninggalkan bacaan surah tersebut, kemudian membaca surah lain dan menyelesaikan salatnya. Setelah itu ia harus mengulangi salatnya.
Masalah 600) Apabila pada pertengahan salat seseorang mendengar bacaan ayat sujud, maka salat yang tengah dilakukannya tetap sah dan setelah mendengar ayat tersebut dia harus melakukan sujud dengan isyarat.
Masalah 601) Apabila setelah membaca al-Fatihah mushalli membaca surah Tauhid (al-Ikhlas) atau surah al-Kafirun, maka dia tidak bisa meninggalkannya untuk membaca surah yang lain, tetapi pada salat Jumat, apabila dia membaca salah satu dari dua surah di atas sebagai pengganti surah al-Jumu’ah dan al-Munafiqin karena lupa, maka dia bisa meninggalkan bacaannya dan membaca surah al-Jumu’ah dan surah al-Munafiqin.
Masalah 602) Apabila pada saat salat, mushalli membaca selain surah al-Ikhlas dan surah al-Kafirun, maka selama bacaannya belum sampai pada pertengahan surah, dia bisa meninggalkannya dan membaca surah yang lain.
Masalah 603) Apabila seseorang lupa terhadap sebagian dari surah yang tengah dibacanya atau waktu telah sempit atau karena sesuatu yang lainnya sehingga terpaksa dia tidak bisa menyelesaikannya, maka dia harus meninggalkan bacaan surah tersebut dan membaca surah lainnya. Dalam keadaan ini tidak ada bedanya apakah dia telah sampai pada pertengahan surah ataukah belum, atau apakah surah yang dibacanya tersebut adalah surah al-Ikhlas, surah al-Kafirun ataukah selainnya.
Masalah 604) Dalam salat-salat mustahab (sunnah) tidak diwajibkan untuk membaca surah meskipun salat tersebut telah menjadi wajib karena nazar, tetapi dalam sebagian salat mustahab yang terdapat bacaan surah khusus di dalamnya, seperti salat untuk kedua orangtua, apabila hendak melakukan salat tersebut sesuai dengan aturan yang ada, maka dia harus membaca surah yang telah ditentukan.
Masalah 605) Membaca sekali tasbih arba’ah pada rakaat ketiga dan keempat, telah dianggap mencukupi, meskipun ihtiyath mustahab untuk membacanya sebanyak tiga kali.
Masalah 606) Mushalli yang tidak mengetahui bacaan tasbih arba’ah-nya telah dia lakukan sebanyak tiga kali, lebih dari tiga kali ataukah kurang darinya, maka tidak ada kewajiban apa pun baginya. Tetapi selama belum rukuk dia bisa menetapkannya pada hitungan terkecil lalu mengulangi bacaan tasbihnya sehingga yakin telah mengucapkannya sebanyak tiga kali.
Masalah 607) Seseorang yang kebiasaannya pada rakaat ketiga dan keempat adalah membaca tasbih, apabila dia memutuskan untuk membaca al-Fatihah namun karena lalai dari keputusannya lalu dia membaca tasbih sebagaimana kebiasaannya, maka salatnya dihukumi sah. Demikian juga halnya jika kebiasaannya adalah membaca al-Fatihah dan dia memutuskan untuk membaca tasbih.
Masalah 608) Apabila seseorang membaca al-Fatihah dan surah pada rakaat ketiga dan keempat karena lupa, dan seusai salat dia baru menyadari hal ini, maka salatnya benar dan tidak ada kewajiban baginya untuk mengulangi salatnya.
Masalah 609) Apabila pada saat berdiri mushalli ragu apakah dirinya telah membaca al-Fatihah atau tasbih, maka dia wajib untuk membaca al-Fatihah atau tasbih, tetapi apabila pada saat membaca istigfar mustahab dia ragu apakah sudah membaca al-Fatihah atau tasbih, maka tidak ada kewajiban baginya untuk membacanya.
Masalah 610) Apabila pada rukuk ketiga dan keempat mushalli ragu telah membaca al-Fatihah atau tasbih ataukah belum, maka dia tidak boleh mengindahkan keraguannya tersebut. Tetapi jika keraguan tersebut terjadi pada saat hendak rukuk dan masih belum sampai pada keadaan rukuk, maka berdasarkan ihtiyath wajib dia harus kembali berdiri dan membaca al-Fatihah atau tasbih.
Masalah 611) Mushalli laki-laki wajib membaca surah al-Fatihah dan surah setelahnya dengan jahr (suara luar) pada salat Subuh, Maghrib dan Isya. Adapun pelaku salat wanita bisa membacanya dengan jahr (suara luar) atau ikhfat (suara dalam), namun jika nonmuhrim akan mendengar suaranya, maka lebih baik baginya untuk mengucapkannya dengan ikhfat.
Masalah 612) Pada rakaat ketiga dan keempat wajibbagimushalli laki-laki ataupun wanita membaca tasbih arba’ah atau surah al-Fatihah secara ikhfat tetapi jika yang dibaca adalah al-Fatihah, maka pada salat furada (sendiri) bacaan ”bismillahirrahmanirrahim” bisa dibaca dengan jahr, meskipun ihtiyath-nya adalah untuk membacanya dengan ikhfat, dan ihtiyath ini menjadi wajib pada salat jamaah.
Masalah 613) Kewajibanmembaca dengan jahrpada salat Subuh, Magrib dan Isya, al-Fatihah dikhususkan pada bacaan surah al-Fatihah dan surah setelahnya, sebagaimana kewajiban membaca dengan ikhfat pada selain dua rakaat pertama salat Maghrib dan Isya, hanya khusus membaca surah al-Fatihah atau tasbih arba’ah pada rakaat ketiga atau keempat, namun pada bacaan rukuk, sujud, tasyahhud, salam dan dzikir-dzikir wajib lainnya, dalam salat lima waktu, mukalaf diberi kebebasan untuk memilih antara membacanya dengan jahr atau ikhfat.
Masalah 614) Tidak ada perbedaan dalam kewajiban membaca jahr atau ikhfat pada salat-salat wajib harian antara salat ada’ (pada waktunya) maupun qadha (di luar waktunya), meskipun salat qadha tersebut dilakukan dalam rangka berhati-hati (ihtiyath).
Masalah 615) Tolok ukur dalam ikhfat (suara dalam) bukanlah ketiadaan substansi suara (membaca tanpa suara), melainkan dengan tidak menampakkannya, sedangkan tolok ukur dalam jahr adalah dengan menampakkan substansi suara.
Masalah 616) Apabila bacaan pada bagian-bagian salat yang seharusnya diucapkan dengan ikhfat sengaja diucapkan dengan jahr, begitu juga sebaliknya, maka salat dihukumi batal. Tetapi jika hal tersebut terjadi karena lupa atau karena ketidaktahuan terhadap masalah, maka salat dihukumi benar, dan jika seseorang menyadari telah melakukan kesalahan tersebut pada pertengahan bacaan al-Fatihah dan surah, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mengulangi bacaannya yang tidak sesuai dengan aturan ikhfat dan jahr.
Masalah 617) Apabila mushalli mengucapkan bacaan al-Fatihah dan surah melebihi kewajaran sehingga seperti membacanya dengan berteriak, maka salatnya batal.
Masalah 618) Dalam bacaan salat diwajibkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat sehingga bisa dikatakan tengah mengucapkannya. Dengan demikian membaca dalam hati yaitu mengucapkan kalimat-kalimat di dalam hati tanpa melafalkannya sehingga tidak bisa dikatakan tengah mengucapkannya, tidaklah mencukupi. Kriteria dari bisanya dianggap tengah mengucapkan adalah dia sendiri bisa mendengar apa yang tengah diucapkannya, tentu saja jika tidak ada kerusakan telinga atau keributan di lingkungan sekitar.
Masalah 619) Seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk berucap karena bisu namun indra lainnya dalam keadaan normal, jika dia melakukan salatnya dengan isyarat, maka salatnya dihukumi benar dan diperbolehkan.
Masalah 620) Wajib bagi mushalli untuk membaca bacaan salat secara benar tanpa kesalahan. Seseorang yang tidak mampu mempelajari kebenarannya dengan cara apa pun, wajib baginya untuk membacanya dengan segala kemampuannya dan ihtiyath mustahab untuk melakukan salatnya secara berjamaah.
Masalah 621) Seseorang yang tidak mengetahui dengan baik bacaan al-Fatihah, surah dan segala sesuatu lainnya dalam salat dan waktu salat masih longgar, maka dia harus mempelajarinya dan jika waktu salat telah sempit, maka berdasarkan ihtiyath wajib dia harus melakukan salatnya dengan berjamaah, jika hal tersebut memungkinkan.
Masalah 622) Tolok ukur kebenaran bacaan salat adalah memerhatikan kaidah-kaidah bahasa Arab dan pengucapan huruf-huruf sesuai dengan pengucapannya (makhraj-makhraj) sehingga para pengguna asli bahasa mengetahui pengucapan huruf yang dimaksud, bukan huruf lainnya.
Masalah 623) Dalam bacaan salat tidak ada kewajiban untuk memerhatikan keindahan-keindahan tajwid.
Masalah 624) Apabila seseorang tidak mengetahui salah satu dari kalimat al-Fatihah dan surah setelahnya, atau secara sengaja tidak mengucapkannya, atau secara sengaja mengucapkan satu huruf dengan huruf lainnya, misalnya mengucapkan ض dengan ز, atau mengubah fathah menjadi kasrah atau tidak mengucapkan tasydid yang ada, maka salatnya batal.
Masalah 625) Seseorang yang dalam membaca al-Fatihah dan surah atau dalam peletakan tanda-tanda (i’rab) pada kalimat-kalimat salat senantiasa mengalami kekeliruan, misalnya kalimat “یُولَد“ dimana huruf “ل“ yang seharusnya dibaca dengan fathah namun dibaca dengan kasrah, apabila hal ini terjadi karena jahil muqassir (memiliki kemampuan untuk mempelajari tapi tidak mau mempelajari) maka salatnya batal, dan jika tidak demikian maka salatnya benar. Tentunya jika salat-salat sebelumnya dia lakukan dengan cara seperti di atas karena yakin akan kebenarannya, maka salat-salatnya tersebut dihukumi benar dan tidak ada kewajiban untuk mengulang ataupun meng-qadha–nya.
Masalah 626) Kalimat“مَالِكِ“ yang terdapat pada ayat mulia “مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ “ kadangkala diucapkan pula dengan “مَلِكِ “, dan membacanya dengan kedua cara tersebut dalam salat, secara ihtiyath tidaklah bermasalah.
Masalah 627) Dalam bacaan salat tidak ada kewajiban bagi mushalli untuk menampakkan tanda (harkat) pada akhir ayat ketika dia hendak menyambungkan satu ayat dengan ayat berikutnya, seperti ketika mengatakan “مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ“, tidak ada masalah jika dia melakukannya dengan menghentikan (memberikan tanda sukun) pada huruf ن akhir lalu segera menyambungkannya dengan bacaan “ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ “, dan hal seperti ini dinamakan menyambung dengan sukun. Demikian juga halnya pada kalimat-kalimat yang tersusun dari ayat-ayat, meskipun pada kasus ini berdasarkan ihtiyath mustahab dianjurkan untuk tidak menyambung dengan sukun.
Masalah 628) Apabila mushalli mengucapkan “غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ” dengan waqf (berhenti)tanpa segeramelakukan ‘athf (menyambungkan dengan ayat selanjutnya), dan setelah itu dia melanjutkan dengan bacaan “وَلَا الضَّالِّينَ“, maka jika waqf dan jarak tersebut tidak merusak kesatuan kalimat, hal ini tidaklah bermasalah.
Masalah 629) Apabila setelah satu ayat dibacakan kemudian ragu apakah ia membacanya dengan benar atau tidak maka ia harus mengabaikan keraguannya demikian juga apabila ia membaca satu kalimat dari satu ayat dan kemudian ragu apakah ia membacanya dengan benar atau tidak; misalnya setelah ia membaca “ إِيَّاكَ نَعْبُدُ ” kemudian ragu apakah ia telah membacanya dengan benar atau tidak. Akan tetapi dalam pelbagai bentuk ini, apabila ia ragu apakah bacaan yang ia baca benar atau tidak maka berdasarkan prinsip ihtiyath tidak ada masalah untuk membacanya kembali.
Masalah 630) Pada saat membaca al-Fatihah, (salah satu) surah atau tasbih, tubuh mushalli harus berada dalam keadaan yang tenang dan tegak. Dengan demikian, jika dia ingin menggoyangkan badannya ke depan dan ke belakang atau menggerakkannya sedikit ke kanan dan ke kiri, maka pada saat itu dia harus menghentikan bacaan zikir yang tengah dibacanya.
Masalah 631) Dianjurkan (mustahab) untuk dilakukan dalam bacaan salat, sebelum membaca al-Fatihah, mengucapkan “أَعُوذُ بِاللهِ مِن الشَیطَانِ الرَجِیم” (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)”. Pada rakaat pertama dan kedua salat Zuhur dan Asar mengucapkan basmalah “بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ“(Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang)”, dengan jahr (suara luar). Membaca al-Fatihah dan surah secara perlahan-lahan (tidak tergesa-gesa). Berhenti pada setiap akhir ayat, yaitu tidak menyambungkannya dengan ayat setelahnya. Memerhatikan makna pada saat membaca al-Fatihah dan surah.
Membaca الْحَمْدُ لِلَّـهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (Segala puji bagi Allah)” seusai membaca al-Fatihah, baik dalam salat berjamaah atau salat furada (sendirian) dan baik mushalli adalah imam ataupun makmum. Mengucapkan ” کَذَلِكَ اللهُ رَبیِّ (Demikianlah Tuhanku)” sebanyak satu, dua atau tiga kali seusai membaca surah Tauhid. Diam sejenak setelah membaca al-Fatihah dan juga setelah membaca surah, setelah itu baru melanjutkan salat.
Masalah 632) Dianjurkanmengucapkan istigfar setelah membaca tasbih pada rakaat ketiga dan keempat, misalnya dengan mengucapkan “ أسْتَغْفِرُالله رَبیّ وَ أتُوْبُ إلَیهِ” atau dengan mengucapkan “أللّهُمَّ اغْفِرْلیِ“.
Masalah 633) Makruh hukumnya tidak membaca surah Tauhid pada salah satu pun salat-salat wajib harian. Demikian juga makruh hukumnnya mengulang satu surah pada dua rakaat salat, kecuali surah Tauhid.