Hal-hal yang Memutuskan Safar

Masalah 819) Terdapat beberapa hal yang membuat safar itu terputus dan harus mengerjakan salat secara sempurna.  1. Sampainya ke watan.  2. Niat tinggal selama sepuluh hari. 3. Tinggal di suatu tempat selama sebulan tanpa niat.

Pertama: Sampainya ke Watan

Masalah 820)  Dari satu sisi terbagi menjadi dua bagian: Pertama, watan asli: yaitu tempat kelahiran seseorang yang ia menetap dan tumbuh besar (di sana) selama beberapa waktu, dan kedua, watan ittikhadzi (watan kedua, domisili pilihan): yaitu tempat yang dipilih oleh mukalaf sebagai tempat untuk menetap secara permanen walaupun hanya untuk beberapa bulan dalam setiap tahun.

Masalah 821) Di suatu tempat yang diasumsikan ia akan tinggal selama satu atau dua tahun, sehingga ia tidak dihitung sebagai musafir, maka ia dihukumi sebagai watan dan salatnya di tempat itu sempurna dan puasanya sah.

Masalah 822) Hanya sekedar lahir di suatu kota tidaklah cukup (menjadi dasar hukum) untuk menjadikan kota tersebut sebagai watan aslinya, melainkan watan meniscayakan pada seseorang untuk menetap dan tumbuh di tempat tersebut selama beberapa waktu lamanya, misalnya seseorang yang lahir di suatu tempat tetapi tidak dibesarkan di sana, maka tempat tidak bisa tergolong sebagai watan aslinya melainkan watannya tak lain adalah watan kedua orangtuanya, tempat dia menetap, tumbuh besar dan tinggal bersama mereka.

Masalah 823) Suatu tempat bisa dijadikan sebagai watan keduaketika telah memenuhi tiga syarat berikut: 1. Harus ada niat yang pasti untuk bertempat tinggal (tawaththun) di tempat itu.  2. Niat tawaththun (bertempat tinggal) harus ditetapkan pada sebuah daerah atau kota tertentu, karena itu seseorang tidak bisa menjadikan satu negara sebagai watannya. 3. Menyiapkan hal-hal yang diperlukan untuk menetap; misalnya ia tinggal di tempat itu dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh seseorang yang menetap di suatu tempat (seperti membeli rumah dan mengadakan usaha) meski ia nantinya pergi-pergi maka tempat itu sah disebut sebagai watannya. Jika apabila ia tidak menyiapkan hal-hal untuk menetap maka ia harus berdiam di tempat itu sehingga tempat itu sah disebut sebagai watannya.

Masalah 824) Di tempat tinggal baru tidak disyaratkan adanya kepemilikan rumah atau selainnya.

Masalah 825) Bisa saja seseorang memiliki dua watan bahkan tiga watan. Karena itu, kabilah-kabilah yang berniat untuk senantiasa berpindah dari daerah musim panas ke daerah musim dingin untuk menghabiskan hari-hari mereka dalam setiap tahun di salah satu tempat itu sedangkan hari-hari lainnya di tempat yang lain dan mereka menetapkan kedua tempat tersebut untuk menjalani kehidupannya secara permanen, maka masing-masing dari tempat tersebut tergolong sebagai watan mereka, dan di kedua tempat tersebut berlaku hukum-hukum watan atas mereka. Jika jarak antara kedua tempat tersebut mencapai jarak tempuh syar’i (masafah), maka dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya berlaku hukum-hukum musafir.

Masalah 826) Bisa saja seseorang memilih dua domisili pilihan dan lebih dari itu mengikut pada pandangan umum masyarakat (urf).  

Masalah 827) Selama seseorang tidak berpaling dari watannya maka tempat tersebut tetap memiliki hukum watan baginya sehingga salat di tempat tersebut harus dilakukan secara tamam (utuh). Tetapi, begitu dia berpaling dari watannya, maka hukum watan tidak akan berlaku lagi baginya kecuali dia kembali lagi dan menetap selama beberapa lama dengan niat untuk hidup secara permanen di tempat itu.

Masalah 828) I’radh (berpaling) dari watan terjadi dengan keluarnya seseorang dari watan dengan keputusan bahwa ia tidak akan kembali ke tempat itu dan demikian juga disertai dengan ilmu dan keyakinan bahwa ia tidak akan kembali lagi ke tempat itu.

Masalah 829) Dalam masalah menetapkan watan dan niatnya untuk berpaling dari watan, seorang istri tidak bisa mengikuti suaminya secara paksa hanya karena hubungan pernikahan, melainkan ia diperbolehkan untuk tidak mengikuti suami. Maka itu, hanya dikarenakan suatu tempat adalah watan suaminya, hal ini tidak bisa menyebabkan tempat tersebut pun menjadi watan istri dan berlaku hukum-hukum watan atasnya.

Masalah 830) Demikian juga halnya, sekedar pernikahan dan kepergian istri ke rumah suaminya di kota lain, hal ini tidak meniscayakan berpalingannya ia dari watan aslinya. Karena itu, seorang pemuda yang menikah dengan perempuan dari kota lain, ketika istrinya pergi ke rumah orangtuanya, selama dia (suami) tidak berpaling dari watan aslinya, maka salatnya di tempat tersebut adalah tamam (utuh).

Masalah 831) Bila dia ingin mengikuti kehendak suami dalam menentukan watan dan berpalingnya dari watan, maka tujuan dan niat suami telah cukup baginya sehingga kota manapun yang ditempati oleh suami untuk menjalani kehidupan permanen dan ditetapkan sebagai watan suami, hal ini akan menyebabkan tempat tersebut menjadi watan istrinya juga.

Masalah 832) Jika anak-anak tidak memiliki kemandirian dalam mengambil keputusan dan hidup mereka, yaitu mereka tunduk kepada kehendak ayah—sesuai dengan apa yang terbayang dalam benak mereka—maka berkenaan dengan berpaling dari watan sebelumnya dan penetapan watan baru yang dipilih sang ayah untuk hidup permanen, mereka akan mengikuti sang ayah, dan pada keadaan selain ini mereka tidak akan mengikutinya. Karena itu, seseorang yang hijrah dari tempat kelahirannya sebelum usia balig ke kota lain karena mengikuti ayahnya dan sang ayah tidak berencana untuk kembali menetap hidup di sana, maka tempat tersebut tidak memiliki hukum watan lagi baginya melainkan watannya adalah watan baru sang ayah.

Masalah 833) Anak-anak dalam mengambil keputusan dan hidup mandiri maka ia tidak termasuk dalam hukum-hukum watan mengikut ayah dan ibunya.

Kedua: Niat Tinggal Selama Sepuluh Hari

Masalah 834) Jika seorang musafir ingin tinggal di sebuah tempat minimal selama sepuluh hari[1] secara terus menerus, atau dia mengetahui terpaksa harus tinggal di tempat itu, maka dia harus melakukan salatnya secara tamam (utuh) (hal seperti ini dalam istilah fikih dinamakan dengan iqamah (niat tinggal). Tetapi bila seseorang memiliki niat untuk tinggal kurang dari sepuluh hari maka akan berlaku hukum musafir. Karena itu, para pegawai yang diangkat, jika mereka memiliki niat untuk tinggal selama sepuluh hari di suatu tempat atau mengetahui akan tinggal di sana selama sepuluh hari atau lebih—meskipun dengan terpaksa—maka mereka harus melakukan salatnya dengan tamam.

Masalah 835) Seseorang yang mengetahui tidak akan tinggal selama sepuluh hari di suatu tempat maka niatnya untuk tinggal selama sepuluh hari tidak akan berarti dan di sana dia tetap harus mengqasar salatnya. Misalnya, seseorang yang melakukan perjalanan untuk ziarah ke Haram Imam Ridha as dan karena dia ingin melakukan salatnya secara tamam, maka ia berniat untuk tinggal selama sepuluh hari sementara dia mengetahui akan tinggal di sana kurang dari sepuluh hari, dalam keadaan ini niatnya tidak berpengaruh dan dia tetap harus mengqasar salatnya.

Masalah 836) Apabila niat tinggal hingga akhir bulan dan pada kenyataannya adalah sepuluh hari meski ia yakin tidak akan sepuluh hari, niat ini dalam terealisasinya iqamah sudah mencukupi.

Masalah 837) Niat untuk iqamah (tinggal) harus tertuju hanya pada satu tempat (kota, desa, atau lainnya) dan tidak bisa tertuju untuk dua tempat. Karena itu, seseorang yang melakukan tablignya di dua tempat, apabila dalam pandangan masyarakat umum dianggap sebagai dua tempat, maka dia harus berniat untuk tinggal di salah satunya, dan dia tidak bisa berniat iqamah pada dua tempat tersebut dengan perincian beberapa hari di sini dan beberapa hari di sana hingga mencapai jumlah sepuluh hari atau lebih, hal yang demikian tetap meniscayakan salat di dua tempat dilakukan secara qasar.

Masalah 838) Apabila seorang musafir berniat untuk tinggal di salah satu bagian kota, maka kepergiannya ke bagian lain dari kota tersebut meski jarak antara keduanya mencapai jarak tempuh syar’i, tidak akan merusak niat iqamah dan hukumnya.

Masalah 839) Seorang musafir yang hendak tinggal selama sepuluh hari atau lebih di suatu tempat, apabila sejak awal ia telah berniat bahwa di sela-sela sepuluh harinya ini dia akan pergi ke tempat-tempat sekitar (dalam batasan kebun-kebun dan pertanian yang terdapat pada kawasan domisili), maka hal ini tidaklah bermasalah, niat domisili-nya tetap benar dan salatnya tamam. Demikian juga niatnya untuk keluar dari tempat domisilisejauh kurang dari jarak tempuh syar’i, jika hal ini tidak merusak kebenaran domisilinya selama sepuluh hari, yaitu jika kepergiannya dari tempat tersebut hanya memakan waktu beberapa jam dari hari atau malam untuk sekali atau beberapa kali, dan (dengan syarat) jumlah jam kepergiannya tidak melebihi sepertiga dari hari atau malam, maka dalam hal ini niatnya untuk keluar tidak akan merusak niat domisilinya dan salatnya tamam. Tetapi, apabila melebihi ini, maka akan menjadi penghalang bagi kebenaran iqamah sehingga salatnya harus dilakukan dengan qasar.

Masalah 840) Jika pada saat berniat domisili (iqamah), seorang musafir memutuskan bahwa di sela-sela sepuluh harinya—meskipun hanya dilakukan sekali dan memakan waktu tidak lebih dari beberapa menit—dia hendak pergi ke suatu tempat yang berjarak sejauh empat farsakh atau lebih, maka hal ini tidak akan mewujudkan iqamah baginya dan dia harus mengqasar salatnya.

Masalah 841) Musafir yang telah berniat untuk iqamah di suatu tempat, lalu dia bimbang atau membatalkan niat iqamah-nya sebelum melakukan satu dari salat empat rakaat (Zuhur, Asar atau Isya), maka iqamah-nya tidak akan terwujud dan selama tinggal di sana, dia harus mengqasar salatnya. Tetapi jika dia telah melakukan salat empat rakaat—minimal satu salat—setelah niat iqamah, maka iqamah-nya akan terwujud dan setelah itu pembatalan atau keraguannya terhadap iqamah atau tidaknya, tidak akan lagi memberikan pengaruh.  Karena itu, selama dia tinggal di tempat tersebut dan belum memulai perjalanan baru, dia tetap harus melakukan salatnya secara tamam (meskipun setelah terwujudnya iqamah dia hanya tinggal di tempat tersebut selama satu hari).

Masalah 842) Bilamana seseorang setelah niat iqamah, waktu salat empat rakaat seperti Dhuhur dan Ashar telah lewat dan ia mengerjakan salat qadha secara sempurna lalu kemudian ia mengubah niatnya dan tidak lagi ingin tinggal; salat ini tidak mencukupi untuk terwujudnya iqamah.

Masalah 843) Iqamah atau domisili akan terwujud dengan adanya dua hal: Pertama, adanya niat untuk iqamah dan pelaksanaan satu salat empat rakaat. Kedua, adanya niat untuk iqamah dan tinggal selama sepuluh hari berturut-turut di satu tempat (meskipun selama itu belum melakukan salat).

Masalah 844) Setelah iqamah seorang musafirterwujud, tidaklah menjadi masalah apabila dia keluar sejauh kurang dari masafah syar’i—meskipun berulang-ulang dan dalam jangka waktu yang lama—dan salatnya tamam, tetapi apabila dia keluar sejauh masafah, maka dia akan memiliki hukum sebagaimana musafir lainnya. Karena itu, apabila setelah berniat iqamah di suatu kota lalu dia pergi ke kota lainnya yang mencapai jarak masafah dari kota tempat iqamah, maka niat iqamah sebelumnya akan rusak dan setelah kembali ke tempat iqamah, dia harus berniat lagi.

Masalah 845) Apa yang telah kami sebutkan dalam masalah keikutan istri dan anak berkaitan dengan watan berlaku pula pada niat iqamah.

Ketiga: Tinggal Selama Satu Bulan Tanpa Niat

Masalah 846)  Jika setelah melintasi jarak sejauh masafah syar’i (delapan farsakh) seorang musafir berhenti di suatu tempat dan tidak mengetahui sampai berapa lama lagi akan tinggal di tempat tersebut (sepuluh hari ataukah kurang dari sepuluh hari), maka selama masih berada dalam keadaan ini, dia harus mengqasar salatnya. Tetapi setelah lewat tiga puluh hari dia harus melakukan salatnya dengan tamam, meskipun dia akan pergi pada hari itu juga.


[1] Kriteria dalam penentuan hari adalah berdasarkan pandangan umum masyarakat (urf) yang dimulai dari terbitnya dan tenggelamnya matahari.

Tags:,

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jadwal Salat Kota Jakarta