Syarat-syarat Salat Musafir

Masalah 777) Dengan terpenuhi delapan syarat berikut, seorang musafir harus melakukan salat empat rakaatnya menjadi dua rakaat.

Syarat pertama: Perjalanannya seukuran dengan masafah (jarak tempuh) syar’i yaitu, perjalanan pergi atau perjalanan pulang, atau gabungan antara perjalanan pergi-pulang berjarak delapan farsakh. Dengan syarat, jarak kepergiannya tidak boleh kurang dari empat farsakh.

Syarat kedua: Sejak awal telah memiliki tujuan untuk menempuh perjalanan sepanjang delapan farsakh. Karena itu apabila dari awal tidak memiliki tujuan untuk menempuh jarak delapan farsakh atau memiliki tujuan untuk menempuh jarak kurang dari delapan farsakh dan setelah sampai di tempat tujuan memutuskan akan pergi ke suatu tempat yang jaraknya dari tujuan pertama tidak sampai masafah (jarak tempuh syar’i) sekalipun dari tempat tinggalnya hingga tempat tersebut seukuran masafah, maka dia harus menyempurnakan salatnya.

Syarat ketiga: Tidak berpaling dari tujuannya menempuh masafah syar’i. Karena itu, jika pada pertengahan jalan sebelum sampai pada empat farsakh seseorang berpaling dari tujuannya semula atau ragu, maka hukum safar setelah itu tidak berlaku lagi baginya, meskipun salat-salat qasar yang dia lakukan sebelum berpaling dari tujuannya, dihukumi sah.

Syarat keempat: Pada pertengahan perjalanannya menempuh masafah syar’i tidak ada niat untuk menghentikan perjalanan dengan melintasi kota tempat tinggalnya (wathan) atau memiliki tujuan untuk bermukim di satu tempat selama sepuluh hari atau lebih.

Syarat kelima: Perjalanan yang dilakukannya merupakan perjalanan yang diperbolehkan. Karena itu, apabila perjalanannya tergolong perjalanan yang maksiat dan haram, baik karena perjalanan itu sendiri yang haram, seperti melarikan diri dari medan perang, atau karena tujuan perjalanannya yang haram seperti melakukan perjalanan untuk merampok, maka perjalanan ini tidak memiliki hukum safar sehingga harus melakukan salat secara sempurna (tamam).

Syarat keenam: Musafir bukan dari orang-orang yang membawa serta rumahnya dalam perjalanannya, seperti sebagian dari nomad yang tidak memiliki tempat tinggal tetap (namun selalu membawa serta rumah-rumah mereka) dan selalu melakukan perjalanan di jalan-jalan dan akan tinggal di mana saja ketika menemukan air dan rerumputan.

Syarat ketujuh: Tidak menjadikan safar sebagai pekerjaannya seperti pengangkut barang, sopir, pelaut dan sebagainya, dan seseorang yang pekerjaannya dalam perjalanan tergolong dari kelompok ini.

Syarat kedelapan: Perjalanan telah mencapai batas tarakhkhush, yaitu tempat yang tidak terdengar lagi suara azan kota yang ditinggalkannya dan tidak terlihat lagi dinding-dinding kota tersebut, meskipun tidak jauh dari kemungkinan bahwa ketidakterdengarannya suara azan telah mencukupi untuk menentukan batas tarakhkhush.

Masalah 778) Seseorang yang jarak kepergiannya kurang dari empat farsakh dan lintasan kembalinya tidak pula mencukupi masafah syar’i maka salatnya harus dilakukan secara sempurna (tamam). Karena itu, para petugas di luar daerah apabila jarak antara watan (kota tempat tinggal) dengan tempat kerjanya—meskipun digabung—berjarak kurang dari masafah syar’i, tidak memiliki hukum musafir.

Masalah 779) Apabila seseorang keluar dari kotanya sendiri dengan tujuan untuk pergi ke suatu tempat dan akan berkeliling di sana, maka perjalanan keliling yang dilakukan di tempat tujuan ini tidak dihitung sebagai bagian dari masafah yang dijalani dari tempat tinggalnya.

Masalah 780) Jarak masafah delapan farsakh harus dihitung dari batas kota, dan penentuan batas kota bergantung pada pandangan umum (urf). Jika menurut pandangan masyarakat, pabrik-pabrik dan perumahan-perumahan kecil yang terletak di pinggiran kota tidak dihitung sebagai bagian dari kota, maka masafah harus dihitung dari rumah kota yang terakhir.

Masalah 781) Musafir yang pergi ke sebuah kota, apabila tujuannya adalah tempat tertentu, yang harus melintasi kota, sebagai jalan untuk sampai ke tujuan; untuk menghitung jarak masafah, maka tempat yang dituju yang harus diperhitungkan; namun apabila tujuannya kota itu sendiri atau memiliki tujuan tersendiri, ia juga memiliki urusan di kota sehingga sampai di kota dihitung sebagai sampai di tujuan; maka yang menjadi alat ukur adalah awal kota.

Masalah 782) Musafir yang memiliki tujuan untuk pergi dengan jarak tiga farsakh tetapi sejak awal merencanakan bahwa pada pertengahan jalan dia akan melintasi jalan lintas sepanjang satu farsakh untuk melakukan suatu pekerjaan setelah itu memasuki lintasan asli kembali dan melanjutkan perjalanan, maka dalam masalah yang demikian tidak berlaku hukum musafir, dan menggabungkan jarak perjalanan yang keluar dari lintasan asli dengan masuknya kembali ke lintasan tersebut tidak mencukupi untuk menyempurnakan masafah syar’i.

Masalah 783) Seseorang yang melakukan perjalanan dari daerahnya ke tempat lain yang berjarak kurang dari masafah syar’i dan pada sepanjang minggu dia berulang-ulang melakukan perjalanannya dari daerah satu ke daerah lain sehingga masafah-nya melebihi delapan farsakh, apabila ketika keluar dari rumah dia tidak memiliki niat untuk melewati masafah syar’i dan jarak antara tujuan pertama dengan tempat lainnya pun tidak seukuran masafah syar’i, maka perjalanan yang demikian ini tidak memiliki hukum musafir.

Masalah 784) Seseorang yang melakukan perjalanan tanpa memiliki tujuan maksiat, tetapi pada pertengahan jalan demi melanjutkan atau menyempurnakan perjalanannya, dia merencanakan untuk berbuat maksiat, maka wajib baginya untuk melakukan salatnya secara sempurna (tamam) sejak dia berniat melanjutkan perjalanan demi maksiat, dan salat-salat yang telah dia qasar setelah memutuskan melanjutkan perjalanan untuk melakukan maksiat, harus dia ulang dengan salat sempurna (tamam).

Masalah 785) Seseorang yang perjalanannya memang perjalanan untuk perbuatan maksiat, apabila di tengah perjalanan tidak lagi ingin berbuat maksiat, apabila perjalanan yang tersisa delapan farsakh atau empat farsakh dan ingin pergi dan kembali; maka salatnya harus qasar.

Masalah 786) Apabila seseorang mengetahui bahwa dalam perjalanan yang hendak dia lakukan dia akan berbuat maksiat atau melakukan hal-hal yang haram, jika safar tersebut bukan karena meninggalkan kewajiban atau untuk melakukan perbuatan yang haram, maka dia harus melakukan salatnya secara qasar sebagaimana seluruh musafir lainnya.

Masalah 787) Apabila seseorang mengetahui bahwa dalam perjalanannya dia akan meninggalkan sebagian dari kewajiban-kewajiban salat, maka ihtiyath (wajib) baginya untuk tidak pergi dalam perjalanan tersebut, kecuali apabila hal tersebut akan menyulitkan atau membahayakannya. Dalam keadaan bagaimanapun juga tidak ada kebolehan untuk meninggalkan salat.

Masalah 788) Salah satu syarat qasar dalam perjalanan adalah bahwa perjalanannya bukan karena pekerjaan atau bukan pekerjaan itu sendiri. Apabila pekerjaannya melakukan perjalanan atau untuk pekerjaannya maka salat dan puasanya harus sempurna.

Masalah 789) Dalam asumsi pertanyaan sebelumnya tidak ada bedanya pekerjaannya itu untuk usaha yang menghasilkan atau tidak.

Masalah 790) Untuk sempurnanya salat dan sahnya puasa perlu mengikut pandangan umum (urf), perjalanannya itu termasuk sebagai pekerjaan atau pendahuluan pekerjaan; entah beberapa perjalanan atau satu perjalanan panjang seperti seorang pelaut yang melintasi lautan yang panjang untuk pekerjaannya.

Masalah 791) Supaya perjalanan itu mengikut pandangan umum sebagai perjalanan pekerjaan atau tidak tiga hal yang menjadi barometer:

  1. Niat melakukan perjalanan pekerjaan.
  2. Awal perjalanan pekerjaan.
  3. Niat untuk berlanjut melakukan perjalanan pekerjaan.

Masalah 792) Apabila seseorang ragu terkait dengan keabsahan penyebutan pekerjaan dan profesinya itu adalah melakukan perjalanan (atau tidak), maka salat qasar dan puasa batal.

Masalah 793) Apabila perjalanan untuk menuntut ilmu, termasuk bagian dari profesi dan pekerjaan seperti short course bagi pegawai dan ia terpaksa harus mengikut paket short course tersebut dengan melakukan perjalanan; maka perjalanannya adalah perjalanan pekerjaan.

Masalah 794) Perjalanan yang dilakukan oleh mahasiswa untuk menuntut ilmu sehingga di masa depan ia dapat memilih pekerjaan tidak terhitung sebagai perjalanan pekerjaan. Namun mengingat adanya fatwa-fatwa kolektif terkait dengnan sempurnanya salat maka berdasarkan prinsip ihtiyath wajib dalam perjalanan seperti ini ia harus menggabung antara salat sempurna dan salat qasar, harus puasa sempurna dan kemudian meng-qadha puasa dan salatnya.

Masalah 795) Perjalanan yang dilakukan oleh pelajar-pelajar agama atau mahasiswa-mahasiswa akademi militer untuk mencari ilmu dan dengan melakukan perjalanan ini maka hal itu akan menjadi profesinya termasuk sebagai pekerjaan yang memerlukan perjalanan. Terkait dengan salat dan puasanya sama hukumnya dengan perjalanan untuk tujuan kerja.

Masalah 796)  Seseorang yangpekerjaannya dalam setahun sekali selama dua atau tiga minggu, seperti karavan haji, apabila diasumsikan setiap tahunnya ia melakukan pekerjaan ini maka salatnya bahkan pada perjalanan pertama ia harus kerjakan secara sempurna (tamam).

Masalah 797) Dalam asumsi masalah sebelumnya, apabila tidak berkelanjutan maka ia tidak dihukumi sebagai pekerjaan yang memerlukan perjalanan.

Masalah 798) Seseorang dalam satu waktu dalam setahun, melakukan perjalanan untuk menunaikan pekerjaan, apabila ia setiap tahunnya melakukan pekerjaan ini atau ingin untuk waktu yang lama misalnya minimal tiga bulan dan berkelanjutan melakukan pekerjaan tersebut dan hanya pada hari-hari yang biasanya libur, seperti hari-hari libur perayaan dan hari-hari duka; perjalanannya dihukumi sebagai pekerjaan dan salatnya bahkan pada perjalanan pertamanya harus dikerjakan secara sempurna.

Masalah 799) Seseorang yang pekerjaannya lalu-lalang antar kota yang jaraknya kurang dari masafah syar’i, seperti sebagian sopir taksi, apabila kebetulan melakukan perjalanan seukuran dengan masafah syar’i, perjalanannya tidak dihukumi sebagai perjalanan untuk pekerjaan dan salatnya harus di-qashar. Lain halnya untuk waktu yang lama ia melanjutkan perjalanan melewati masafah syar’i dimana dalam hal ini, pada perjalanan pertamanya ini dihukumi sebagai perjalanan untuk pekerjaan dan salatnya sempurna.

Masalah 800) Seseorang yang pekerjaan atau pendahuluan pekerjaannya adalah melakukan perjalanan maka ia harus mengerjakan salat secara sempurna dan melakukan puasa dalam perjalanan; namun apabila ia tinggal selama sepuluh hari di watan atau selain watan, dengan niat atau tanpa niat, maka pada perjalanan pertama yang dilakukan setelah tinggal sepuluh hari ini, salatnya dikerjakan dengan qashar.

Masalah 801) Seseorang yang pekerjaannya adalah melakukan perjalanan, apabila dia tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari atau lebih, baik tempat tersebut adalah watan(tempat tinggal)-nya sendiri atau bukan, maka pada perjalanan pertama setelah tinggal selama sepuluh hari untuk melakukan pekerjaannya, dia harus meng-qashar salatnya.

Masalah 802) Perjalanan pulang-pergi—jika menurut pandangan masyarakat dianggap sebagai sebuah perjalanan (karena perjalanan merupakan konsekuensi dari pekerjaannya)  seperti seorang guru yang melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya ke sebuah kota untuk mengajar dan pulang pada sore hari atau keesokan harinya, maka perjalanan pertamanya dihitung setelah dia kembali ke tempat asalnya. Sementara itu jika pandangan umum tidak menganggapnya sebagai sebuah perjalanan (perjalanan memang pekerjaannya), seperti sopir yang bergerak ke tempat tujuan untuk mengangkut barang dan dari sana dia pergi lagi ke tempat lainnya untuk mengangkut penumpang atau barang baru, dan setelah itu kembali ke tempat tinggalnya, maka perjalanan pertamanya akan selesai dengan sampainya ia ke tempat tujuan.

Masalah 803) Dalam hukum pekerjaan yang memerlukan perjalanan yang salatnya harus sempurna dan puasanya harus tuntas, tidak ada bedanya terkait dengan jarak tempuh atau jenis pekerjaan atau media perjalanan, apakah masih sama dengan yang sebelumnya atau sudah berubah.

Masalah 804) Seseorang yang pekerjaannya memerlukan perjalanan atau pekerjaannya tidak memerlukan perjalanan, apabila ia melakukan perjalanan beruntun, maka salat yang dikerjakan adalah qashar entah sejak permulaan ia niat melakukan perjalanan beruntun atau setelah perjalanan.

Masalah 805) Seseorang yang pekerjaannya memerlukan perjalanan atau dalam perjalanan, apabila ia melakukan perjalanan untuk pekerjaan maka salat yang dikerjakan adalah salat sempurna; meski niatnya melakukan perjalanan bukan untuk pekerjaan seperti sopir bus yang niatnya pergi berziarah dan melakukan perjalanan ke Masyhad (atau tempat ziarah).

Masalah 806) Bila dia melakukan perjalanan untuk keperluan kerjanya dan selain itu dia juga melakukan hal-hal lain seperti mengunjungi sanak saudara atau teman, dan kadangkala menginap selama satu atau dua malam di tempat tersebut, hal ini tidak akan menyebabkan berubahnya hukum perjalanan demi pekerjaan, dengan demikian dia tetap harus melakukan salatnya secara sempurna (tamam).

Masalah 807) Seseorang yang pekerjaannya memerlukan perjalanan atau dalam perjalanan, apabila setelah melakukan perjalanan untuk pekerjaannya dan kemudian segera kembali, maka dalam perjalanannya pulang ia harus mengerjakan salat secara sempurna; namun apabila selama beberapa hari (kurang dari sepuluh hari)  melakukan perjalanan bukan untuk pekerjaan seperti melakukan ziarah atau darmawisata dan kemudian kembali; maka berdasarkan prinsip ihtiyath wajib, dalam perjalanannya pulang, ia harus mengerjakan salat qashar dan salat sempurna.

Masalah 808) Seseorang yang pekerjaannya memerlukan perjalanan atau meniscayakan adanya perjalanan, apabila ia melakukan perjalanan bukan untuk pekerjaan; meski ia berada di kota tempat ia bekerja maka ia harus mengerjakan salat secara qashar.

Masalah 809) Dengan asumsi masalah sebelumnya, apabila perjalanan bukan untuk pekerjaan ia pergi ke tempat kerjanya, namun ia memutuskan untuk tinggal dan mengerjakan pekerjaannya, selama ia tinggal di situ yang ia gunakan sebagai tempat kerjanya, maka berdasarkan prinsip ihtiyath wajib ia harus mengerjakan salat qashar dan salat sempurna; meski kemungkinan besarnya adalah salat sempurna namun setelah itu yaitu di tempat kerjanya dan pada saat ia pulang, maka salatnya yang dikerjakan adalah salat sempurna.

Masalah 810) Seseorang yang pekerjaannya memerlukan perjalanan atau dalam perjalanan, apabila ia melakukan perjalanan bukan untuk pekerjaan maka salatnya adalah qashar; namun apabila dari tempat itu ia menuju tempat kerjanya dan dengan niat untuk melakukan pekerjaannya maka salat yang ia kerjakan ketika ia kembali adalah salat sempurna.

Masalah 811) Apabila kendaraan seseorang yang pekerjaannya adalah sopir rusak di tengah jalan dan untuk memperbaikinya ia harus melakukan perjalanan yang tempatnya jauh melampaui batas syar’i, maka perjalanan ini adalah perjalanan untuk pekerjaan dan salatnya sempurna.

Masalah 812) Dalam asumsi masalah sebelumnya, apabila sebelum mulai melakukan perjalanan untuk pekerjaan, mobilnya rusak dan untuk memperbaikinya ia harus pergi ke luar kota untuk membeli peralatannya dalam kondisi seperti ini salatnya adalah qashar.

Masalah 813) Seseorang yang pekerjaannya dalam perjalanan, apabila pekerjaannya berakhir untuk selamanya atau ia mengundurkan diri, dalam perjalanan kembali dari perjalanan dinas, berdasarkan prinsip ihtiyath wajib, ia harus mengerjakan salat qashar dan salat sempurna (dua-duanya) dan apabila pekerjaannya melakukan perjalanan, dalam asumsi masalah, maka salatnya ketika dalam perjalanan kembali adalah qashar; namun berdasarkan prinsip ihtiyath wajib, mengerjakan salat qashar dan salat sempurna (dua-duanya).

Masalah 814) Dakwah dan berceramah serta amar makruf nahi mungkar apabila menurut pandangan umum tergolong sebagai pekerjaan seorang dai, maka dalam perjalanan untuk melakukan pekerjaan ini, ia dihukumi sebagai orang yang bepergian untuk tujuan kerja. Apabila suatu saat dia melakukan perjalanan untuk selain ceramah dan dakwah, maka dalam perjalanan tersebut dia harus meng-qasar salatnya sebagaimana musafir-musafir lainnya. 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jadwal Salat Kota Jakarta